Sikap Serakah ?

Dalam bahasa ekonomi, "keserakahan" itu kerap kali dipersepsi sebagai "greed economy". Beberapa kalangan menuding, sikap semacam ini sudah saat nya dihentikan dan digantikan dengan "green economy" yang inti nya mewujudkan "ekonomi hijau alami ciptaan ilahi". Sebagaimana yang sering dikemukakan pakar ekonomi UI Prof. Emil Salim, pergeseran Paradigma Pembangunan dari "ekonomi serakah" ke "ekonomi hijau" sebetul nya telah mengumandang pada saat dilangsungkan nya KTT Rio bulan Juni 2012 lalu. Tepuk tangan meriah pun disampaikan ketika Presiden Sby menyuarakan nya di saat Sidang Pleno KTT Rio berlangsung.

Istilah "hijau" sendiri, rupa nya menjadi semakin marak dijadikan jargon pembangunan di berbagai negara sekarang ini, setelah pada tahun 1970-an, dunia dikejutkan oleh penemuan teknologi dan inovasi di sektor pertanian yang selanjut nya dikenal dengan sebutan "revolusi hijau". Sebut saja kata-kata "go green". Atau kita juga sempat mendengar "green province". Semua serba hijau. Bahkan dalam pembahasan RUU Desa pun sempat mengundang perbincangan dan usulan soal penting nya kawasan desa yang asri, nyaman dan bersih serta berwawasan lingkungan.

Semangat untuk mengharmonikan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan ke dalam sebuah sistem, sebetul nya telah disuarakan cukup lama. Pembangunan yang melulu mengejar pertumbuhan ekonomi, di berbagai negara malah memberi dampak yang tidak diharapkan. Pertumbuhan tidak menjamin terjadi nya pemerataan yang berkualitas. Pertumbuhan kerap kali melahirkan ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat. Yang lebih parah lagi, pertumbuhan pun malah meninggalkan jurang yang kian menganga antara penikmat pembangunan dengan korban pembangunan. Itu sebab nya, kritik terhadap pola pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan, kini banyak disampaikan berbagai macam kalangan.

Tawaran untuk membangun keseimbangan antara dimensi ekonomi, sosial budaya dan lingkungan, diharapkan mampu memberi solusi atas pola pembangunan yang berbasis pada pencapaian pertumbuhan semata. Melalui "harmoni" tiga pilar pembangunan ini, keseimbangan dan keserasian lebih dikedepankan, ketimbang mengejar target pertumbuhan. Apalah arti nya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jika akhirnya membekaskan korban pembangunan. Dan apalah makna sebuah pembangunan, bila tidak mampu memberi keberkahan bagi kehidupan umat manusia.

Sikap serakah, kini semakin mempertontonkan kedahsyatan nya. Serakah bukan hanya yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan fisik material, namun serakah di dalam jabatan dan kekuasaan pun semakin menampakan batang hidung nya. Ukuran keserakahan tidak lagi cuma diukur dari berapa banyak rumah atau mobil yang dimiliki nya, tapi posisi-posisi publik yang dapat direbut pun merupakan indikator keserakahan politik yang ditempuh seseorang. Seorang Kepala Daerah yang sudah diberi amanah untuk menjadi Gubernur atau Bupati/Walikota misal nya, jarang yang merasa cukup untuk satu periode. Selama ada peluang untuk maju, biasa nya mereka akan ikut lagi dalam Pilkada periode yang ke dua.

Sikap serakah sendiri, jelas bukan nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bangsa kita. Justru yang diajarkan para leluhur kita adalah sikap silih asih, silih asah dan silih asuh yang sejati nya, jauh dari keserakahan. Nenek moyang kita mengajarkan bagaimana hidup saling tolong menolong melalui sifat gotong royong. Kita tidak pernah dididik untuk hidup serakah. Kita tidak pernah diajari gaya hidup yang sofistikasi. Dan kita pun tidak pernah dilatih untuk memiliki sikap hedonis. Oleh karena itu, kalau sekarang terekam ada nya sikap serakah yang diperlihatkan oleh beberapa pihak, maka tugas kita bersama untuk mengingatkan nya.

Salam,


Sumber